Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ.

Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah (cobaan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada (fitnah) wanita. (Muttafaq ‘alaihi)

Ibnu al-Jauzi mengisyaratkan berbagai dampak buruk tersebut dan berkata: “Ketahuilah bahwa dampak negatifnya berbagai macam, ada yang sifatnya segera dan ada pula yang tertunda, terkadang kasat mata, dan terkadang tersembunyi pula”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga menuturkan perihal akibat menuruti syahwat yang diharamkan:

“Barangsiapa yang hatinya menghamba kepada kecantikan rupa yang diharamkan, baik wanita maupun anak muda, maka ini betul-betul merupakan adzab yang tak dapat dianggap remeh. Mereka adalah orang yang paling berat siksanya dan paling sedikit pahalanya. Karena orang yang tergila-gila kepada rupa di saat hati terkait erat dengannya sementara yang dituju jauh darinya, maka akan terkumpul berbagai macam keburukan dan kerusakan yang tak satu pun mampu mengukurnya selain Rabbul ’Ibad.

Di antara bencana yang timbul karena fitnah wanita adalah berpalingnya hati dari Allah. Karena hati manakala telah mengenyam manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas untuk-Nya, niscaya dia tidak lagi merasakan sesuatu yang lebih nikmat, lebih lezat, dan lebih baik dari hal itu.” [Majmu’ al-Fataawa X / 187.]

Beliau juga berkata: ”Tidak diragukan lagi bahwa kesukaan terhadap tindakan zina adalah penyakit yang bercokol di hati. Syahwat akan menyebabkan seseorang menjadi mabuk, sebagaimana firman Allah tentang kaum Luth:

”Sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)”. (QS. Al-Hijr: 72).

Dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya dunia ini indah dan manis, dan sesungguhnya Allah telah menjadikan kamu sekalian sebagai khilafah lalu melihat apa yang kalian perbuat. Maka waspadailah dunia dan wanita. Sesungguhnya godaan dan bencana yang menimpa Bani Israil adalah wanita.” (H.R. Muslim)

Muhammad bin Ishaq menyatakan, “As-Sirri bin Dinar pernah singgah di kota Dzarib di Mesir. Di sana tinggal seorang wanita cantik yang amat menggoda karena kecantikannya. Karena tahu dirinya menarik, sang wanita berkata, `Aku akan menggoda lelaki ini.’ Maka wanita itupun masuk ke tempat lelaki itu dari pintunya. Wanita itu membuka wajahnya dan memperlihatkan dirinya di hadapan As-Sirri. Beliau bertanya, `Ada apa denganmu?’ Wanita itu berkata, `Maukah Anda merasakan kasur yang empuk dan kehidupan yang nikmat?’ Beliau menghadap wanita itu sambil melantunkan syair:

Berapa banyak pecandu kemaksiatan yang mereguk kenikmatan dari wanita-wanita itu, namun akhirnya ia mati meninggalkan mereka untuk merasakan siksa yang nyata. Mereka merasakan kemaksiatan yang tiada abadi, untuk merasakan akibat kemaksiatan yang tak kunjung sirna.

Wahai kejahatan, sesungguhnya Allah melihat dan mendengar hambaNya, dengan kehendak Dia pulalah kemaksiatan itu tertutupi jua. (Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, Ibnul Qayyim, hal.339)

Abul Faraj dan yang lainnya menuturkan, bahwa pernah seorang wanita cantik tinggal di Makkah. Ia sudah bersuami. Suatu hari ia bercermin dan menatap wajahnya sambil bertanya kepada suaminya, “Apakah menurutmu ada seorang lelaki yang melihat wajah ini dan tidak tergoda?” Sang suami menjawab, “Ada.” Si istri bertanya lagi, “Siapa dia?” Suaminya menjawab, “Ubaid bin Umair.” Si istri menjawab, “Izinkan aku untuk menggodanya.” “Aku sejak tadi sudah mengizinkanmu.” Jawabnya. Abul Faraj menuturkan, “Maka wanita itu mendatangi Ubaid seperti layaknya orang yang meminta fatwa. Ia berduaan dengan beliau di ujung masjid Al-Haram dan menyingkapkan wajahnya yang bagai kilauan cahaya rembulan. Maka Ubaid berujar kepadanya, “Wahai budak Allah, tutuplah wajahmu.” Si wanita menjawab, “Aku sudah tergoda denganmu.” Beliau menanggapi, “Baik. Saya akan bertanya kepadamu tentang satu hal, apabila engkau menjawabnya dengan jujur, aku akan perhatikan keinginanmu.” Si wanita berujar, “Saya akan jawab setiap pertanyaanmu dengan jujur.”

Beliau bertanya, “Seandainya sekarang ini malaikat maut datang kepadamu untuk mencabut nyawamu, apakah engkau ingin aku memenuhi keinginanmu?” Si wanita menjawab, “Tentu tidak.” Beliau berujar, “Bagus, engkau telah menjawabnya dengan jujur.”

Beliau bertanya lagi, “Seandainya engkau telah masuk kubur dan bersiap-siap untuk ditanya, apakah engkau suka bila sekarang kupenuhi keinginanmu?” Si wanita menjawab, “Tentu tidak.” Beliau berujar, “Bagus, engkau telah menjawabnya dengan jujur.”

Beliau bertanya lagi, “Apabila manusia sedang menerima catatan amal perbuatan mereka, lalu engkau tidak mengetahui apakah akan menerimanya dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri, apakah engkau suka bila sekarang kupenuhi keinginanmu?” Si wanita menjawab, “Tentu tidak.” Beliau berujar, “Bagus, engkau telah menjawabnya dengan jujur.”

Beliau bertanya lagi, “Apabila engkau sedang akan melewati Ash-Shirath, sementara engkau tidak mengetahui apakah akan selamat atau tidak, apakah engkau suka bila sekarang kupenuhi keinginanmu?” Si wanita menjawab, “Tentu tidak.” Beliau berujar, “Bagus, engkau telah menjawabnya dengan jujur.”

Beliau bertanya lagi, “Apabila telah didatangkan neraca keadilan, sementara engkau tidak mengetahui apakah timbangan amal perbuatanmu akan ringan atau berat, apakah engkau suka bila sekarang kupenuhi keinginanmu?” Si wanita menjawab, “Tentu tidak.” Beliau berujar, “Bagus, engkau telah menjawabnya dengan jujur.”

Beliau bertanya lagi, “Apabila manusia sedang menerima catatan amal perbuatan mereka, lalu engkau tidak mengetahui apakah akan menerimanya dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri, apakah engkau suka bila sekarang kupenuhi keinginanmu?” Si wanita menjawab, “Tentu tidak.” Beliau berujar, “Bagus, engkau telah menjawabnya dengan jujur.”

Beliau bertanya lagi, “Apabila engaku sedang berdiri di hadapan Allah untuk ditanya, apakah engkau suka bila sekarang kupenuhi keinginanmu?” Si wanita menjawab, “Tentu tidak.” Beliau berujar, “Bagus, engkau telah menjawabnya dengan jujur.”

Beliau lalu berujar, “Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah telah memberi karuniaNya kepadamu dan telah berbuat baik kepadamu.” Ibnul Faraj menveritakan, “Maka wanita itupun pulang ke rumah menemui suaminya. Si suami bertanya, “Apa yang telah engkau perbuat?” si istri menjawab, “Sungguh engkau ini pengangguran (kurang ibadah) dan kita semuanya pengangguran.” Setelah itu si istri menjadi giat sekali melaksanakan shalat, shaum, dan ibadah-ibadah lain. Konon si suami sampai berkata, “Apa yang terjadi antara aku dengan Ubaid? Ia telah merubah istriku. Dahulu setiap malam bagi kami bagaikan malam pengantin, sekarang ia telah berubah menjadi pendeta (ahli ibadah). (Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, Ibnul Qayyim, hal. 340)

Sungguh, fitnah wanita termasuk cobaan terbesar dan paling mengerikan bagi kaum Adam. Karena wanita, dua orang laki-laki berkelahi. Lantaran wanita, dua kubu saling bermusuhan dan saling serang. Oleh sebab wanita, darah begitu murah dan mudah diguyurkan. Karena wanita, seorang dapat terjatuh dalam jurang kemaksiatan. Bahkan, karena wanita, si cerdas yang baik dapat berubah menjadi dungu dan liar.

Semoga Allah memberikan petunjuk kepada wanita-wanita muslimat kepada jalan yang lurus, dan menjadikan keluarga, sahabat, saudara, tetangga, serta masyarakat kita, baik laki-laki maupun wanita, menjadi Muslim dan Muslimah yang taat terhadap ajaran agama. Amin.