Jakarta - Seiring dengan berlangsungnya Munas ke-2 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kedua di salah satu hotel termahal di Nusantara ini, Hotel Ritz-Carlton Jakarta, berakhir pula era partai yang menjadikan dakwah Islam sebagai basis gerakannya. Ini tentu menjadi pukulan telak bagi kalangan yang mengharapkan perubahan dimulai dari gerakan yang berbasis moral dan menjadikan agama sebagai ruh dari gerakan itu.

Ditabuhnya gema reformasi di tahun 1998 memunculkan partai partai bernuansakan Islam baru untuk mendampingi PPP sebagai representatif Islam di masa Orde Baru. Lahirnya PKB, PAN, PBB, dan PKS di era reformasi lalu seakan ingin menjawab kerinduan masa lalu akan romantika kejayaan Partai Masyumi.

Semua partai seakan menggadang-gadang akan menjadi pemersatu partai-partai Islam di Indonesia dengan menjadi idelogi (pure) Islam sebagai basis gerakannya. Akan tetapi seiring waktu satu per satu partai ini berguguran dan mulai menyandingkan istilah nasionalis-religius sebagai citra dari partai tersebut.

Perlahan namun pasti partai Islam ini tidak lagi menjadikan Islam sebagai citra dan ruh pergerakan dari partai tersebut. Tersisalah pada akhir 2004 hanya PKS yang masih cukup berani mencitrakan sebagai partai dakwah Islam.

Pemilu 2009 pun berakhir dengan bisa dikatakan kekalahan dari partai Islam. Semua partai turun dalam peraihan suara kecuali PKS yang hanya naik beberapa poin saja. Hal ini yang mungkin menjadi alasan kenapa pula pada akhirnya PKS menjual semangat dakwahnya menjadi semangat meraih kemenangan suara yang cenderung sangat mengejar popularitas.

Pergeseran pola gerak PKS mulai tampak dengan sangat sejak periode pemerintahan 2009-2014 ini. PKS mulai tampak pragmatis dalam beberapa isu yang ada serta lebih memilih diam atas isu-isu yang memungkinkan PKS terganggu stabilitas koalisi dengan partai pemenang Pemilu 2009. Ini menjadi sebuah pertanyaan bagi kalangan yang berharap banyak pada partai dakwah yang mengklaim dirinya sebaga partai yang bersih peduli dan profesional. PKS seakan saat ini tidak tegas dan keras dalam menegakkan kebenaran.

Jika menilik saat Pemilu 1999 PK (nama sebelum PKS) hanya mengirimkan 7 politisi Islam militan ke Senayan dan seorang Nur Mahmudi Ismail sebagai Menteri Kehutanan. Akan tetapi perubahan yang terasa karena ruh dakwah setiap individu ini berbuah hasil yang signifikan. Sebutlah Menteri Kehutanan Nur Mahmudi Ismail yang dikenal sederhana dan membersihkan koruptor di Kementerian Kehutanan saat itu.

PKS pun tampaknya mulai menggeser beberapa nama kader yang dulu membesarkan partai ini dengan politisi muda yang tampak populis dan pragmatis. Sebutlah nama Hidayat Nur Wahid yang sekarang hilang ditelan bumi. Padahal sebelumnya beliau seorang Ketua MPR. Atau didepaknya nama Saiful Islam yang dikenal sebagai seorang yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari PKS.

Perubahan lain pun terjadi dari pola pergerakan PKS adalah semangat yang ditularkan kepada kadernya. PKS dulu mendoktrin kadernya untuk mengajak masyarakat berislam dengan baik atau berdakwah secara utuh. Akan tetapi kini semangat yang ditularkan adalah untuk mengajak sebanyak-banyaknya orang yang mencoblos PKS. Proses pergerakannya pun hanya sebatas saat pemilu kepala daerah atau pemilu nasional sehingga semakin membenarkan PKS semakin berpikir instan dan pragmatis untuk merebut kemenangan.

Jika dulu semangatnya adalah ilallah (untuk Allah) maka sekarang adalah ilal hizb (untuk partai). Semangat pelayanan dan pengabdian masyarakat yang menjadi jiwa 'peduli' PKS pun juga semakin berkurang dan tergantikan dengan politik pencitraan yang menghabiskan banyak uang dan cenderung populis.

Hingga terakhir saat Munas ke-2 ini PKS akhirnya mengorbankan dana sangat besar untuk untuk mengadakan acara di hotel yang memiliki tarif rata-rata kamarnya sekitar 3 juta rupiah. Turut diundangnya Dubes Amerika Serikat dan memberikan kesempatan baginya untuk berbicara menjadi pertanyaan.

Apakah PKS akan bersahabat dengan Amerika Serikat? Jika iya jawabannya maka jelas sangat pragmatisme partai ini dan semakin tampak bahwa PKS bukan lagi partai dakwah. Akan tetapi hanya sekedar partai politik biasa yang mencoba merangkul semua kalangan untuk meraih kemenangan.

Ridwansyah Yusuf Achmad