Peran ibu sejatinya merupakan peran yang sangat penting. Selain berperan secara biologis, ibu juga memiliki peran politis dan strategis. Sebagai madrasah pertama dan utama, di tangannyalah eksistensi dan kualitas generasi umat masa depan akan ditentukan.

Sayangnya pemahaman seperti ini kian hilang dari benak masyarakat. Serangan budaya dan pemikiran sekular-materialistik telah menjadikan peran ibu seolah tak berarti apa-apa. Sebagian ibu hanya tahu bagaimana melahirkan dan membiarkan anak besar dengan sendirinya, tanpa ruh dan apa adanya. Sementara sebagian lain, sibuk mengejar prestise atau karir sebagai simbol kebebasan dan kemandirian, seraya tak segan menanggalkan cita-cita dan kebanggaan menjadi ibu ideal bagi anak-anak mereka.

Penerapan sistem kapitalisme sekulerpun telah membuat peran ibu kian jauh dari optimal. Betapa tidak? Kebijakan ekonomi neolib yang inhern dengan sistem batil ini senyatanya telah berhasil menciptakan kemiskinan struktural dan gap sosial yang demikian lebar dan memaksa para ibu berperan lebih dari apa yang seharusnya mereka pikul. Selain harus berperan sebagai ibu dan pengelola rumahtangga, mereka pun terpaksa bekerja mencari nafkah yang tak cukup didapat para suami mereka.

Pada kondisi seperti ini, para pejuang gender malah sibuk memasang umpan mereka; menawarkan gagasan beracun bernama “keadilan dan kesetaraan gender” atau ‘pemberdayaan perempuan’ yang targetnya, melepas keterikatan kaum perempuan pada peran-peran domestik, termasuk peran sebagai ibu. Peran mulia ini mereka gambarkan sebagai peran yang ‘marginal, tak produktif dan diskriminatif’. Sehingga sebagian para ibu, seolah mendapat pembenaran atas abainya mereka akan tugas dan tanggungjawab mempersiapkan generasi masa depan.

Tak heran jika hari ini muncul generasi tanpa visi, yang dididik ibu pengganti bernama televisi dan lingkungan sekuler yang intens memapar budaya permissif, hedonis dan anarkis. Pelan tapi pasti, merekapun terinfeksi kanker peradaban yang sedikit demi sedikit membunuh masa depan mereka sehingga umatpun nyaris kehilangan pelanjutnya. Seks bebas, aborsi, narkoba, HIV/AIDS, pornografi-pornoaksi, tawuran, dan kriminalitas, menjadi hal biasa di kalangan remaja. Sementara di sisi lain, kemiskinan struktural yang tercipta di negeri kaya raya ini tak urung melemahkan fisik dan akal sebagian mereka akibat gizi buruk dan ancaman keterlantaran. Alih-alih beroleh kehidupan dan pendidikan yang layak,bahkan tak sedikit anak yang harus banting tulang menyelamatkan ekonomi keluarga mereka.

Sebenarnya kondisi ini tak akan terjadi jika para ibu menyadari peran utamanya sebagai pendidik generasi. Kondisi inipun tak seharusnya terjadi, jika umat peduli dan hidup dengan aturan Illahi yang berperspektif penyelamatan generasi. Persoalannya, hari ini kehidupan para ibu dan umat memang jauh dari ideal. Sistem pendidikan yang diterapkan, tak mampu membuat mereka cerdas untuk memahami perbedaan yang fana dan abadi, yang semu dan hakiki. Sistem ekonomi yang dijalankanpun tak mampu mewujudkan kesejahteraan yang menjamin optimalnya peran ibu. Bahkan sistem rusak ini, meniscayakan seluruh kekayaan yang dimiliki dirampok para kapitalis dalam dan luar negeri yang berkolaborasi dengan penguasa khianat di negeri ini.

Pertanyaannya, akankah kondisi buruk ini kita biarkan hingga eksistensi umat hancur berantakan? Sudah saatnya kita bangkit melakukan perubahan. Agar sebagaimana dahulu, umat ini bisa kembali tampil sebagai umat terbaik (khoyru ummah) dan kembali bangkit sebagai pionir peradaban. Caranya tidak lain dengan membina para ibu agar menyadari peran strategis-politis mereka dalam mencetak generasi unggul, yakni generasi yang bertakwa, cerdas dan berkarakter pemimpin, sesuai aturan-aturan Islam. Juga dengan membina umat agar mampu menjadi barier tangguh untuk menangkal serangan pemikiran dan budaya yang dilancarkan musuh-musuh Islam, yang hendak melanggengkan hegemoni dan menjegal kebangkitan Islam dengan melemahkan generasi mereka.

Hanya saja mencetak generasi unggul melalui optimalisasi peran ibu dan umat ternyata tak mungkin dilakukan dalam sistem sekuler yang secara genial memang rusak dan membawa kerusakan. Upaya ini justru membutuhkan sistem yang benar dan datang dari Dzat Yang Maha Benar. Yakni sistem Islam bernama al-khilafah. Khilafah inilah yang akan menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan yang karenanya peran ibu dan umat dapat optimal dilaksanakan, dan generasi berkualitaspun akan bisa diwujudkan.

Disinilah urgensi dakwah yang bersifat politik ideologis. Yakni dakwah yang tidak hanya mengarah pada perbaikan kualitas individu ibu dan umat saja, namun juga mengarah pada terwujudnya sistem masyarakat Islam (khilafah Islam) yang rahmatan lil ‘alamin. Dan upaya ini tentu tak bisa dilakukan sendirian, melainkan harus ada sinergi dari seluruh komponen umat yang sudah berkesadaran, termasuk para ibu tangguh arsitek generasi unggul yang bertakwa dan terbina dengan pemikiran-pemikiran Islam.


Siti Nafidah Anshory (DPD I Jawa Barat)