Sengaja saya publikasikan tulisan ini terutama untuk teman - teman para muslimah yang sering menghadapi masalah ini...,Selamat membaca fillah..,semoga bermanfaat..

Ass wr. wb,

nama saya nurul, 25 tahun. insyaallah tahun ini, saya akan melaksanakan pernikahan. Tapi, masalahnya, orangtua saya berkehendak untuk menggunakan adat jawa dengan sanggul dsb. sedang saya dan calon mertua menghendaki busana muslimah walaupun tetap dengan adat jawa. yang saya ingin tanyakan, apakah saya berdosa jika saya tidak mengabulkan permintaan kedua orang tua saya, karna, yang saya tahu, ridha dr kedua orang tua saya adalah ridha nya Allah SWT.

Terima kasih.

Wassalam.

Masrofah, Nurul


Jawaban :

Ajaran Islam kadang-kadang sesuai dengan budaya/adat setempat, tetapi kadang-kadang juga tidak sesuai. Dalam masalah anda, beberapa bagian dari adat Jawa tidak sesuai dengan Islam, salah satunya adalah aturan berbusana .

Bagaimana sikap kita jika ada adat yang bertentangan dengan Islam? Ternyata kaum muslimin terpecah ke dalam dua pendapat :

A. Islam Disesuaikan dengan adat

Jika ada beberapa aturan Islam yang berbeda dengan adat, maka mereka memakai adat itu.

Mereka yang tergabung di kelompok ini memakai kaidah :

??????????? ??????????

“Adat-istiadat dapat dijadikan patokan hukum”

Konsekuensinya, banyak syariat Islam dilanggar karena kaidah tersebut. Misalnya : Jilbab boleh dilepas jika masyarakat setempat terbiasa dengan pakaian bukan jilbab. Riba diperbolehkan jika budaya setempat sudah terbiasa dengan riba. Dan masih banyak lagi.

Jika kaidah tersebut dipakai, maka rusaklah ajaran Islam ini. Kita tahu bahwa adat di berbagai suku/bangsa berbeda-beda. Seringkali saling bertentangan. Maka, jika Islam disesuaikan dengan adat, akan terjadi kerancuan tentang mana sesungguhnya yang merupakan hukum Islam. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia menganggap bahwa jika bertemu dengan orang lain lawan jenis, cukup menyapa dengan menganggukkan kepala. Sementara masyarakat Barat jika pria dan wanita bertemu akan lebih sopan jika berciuman. Padahal, di Indonesia berciuman dengan lawan jenis adalah perbuatan yang sangat tidak sopan. Contoh lain, ada adat suatu suku tertentu mengurus warganya yang meninggal dengan membakar mayatnya, adat suku lain yang membalsem mayat, sementara suku yang lain meletakkannya di bawah pohon. Lantas, mana yang akan kita pakai? Bingung kan?

B. Adat Disesuaikan dengan Islam

Pandangan kedua ini menyatakan bahwa jika ada adat yang tidak sesuai dengan Islam, maka adat tersebut harus disesuaikan dengan Islam. Jika memang tidak bisa disesuaikan, maka adat tersebut harus ditinggalkan.

Hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah saw. Pada era Mekah jahiliyah, mempunyai anak wanita adalah aib. Seorang ayah merasa malu jika istrinya melahirkan bayi wanita. Maka banyak terjadi kasus pembunuhan bayi wanita pada masa itu. Bahkan Umar bin Khattab pun sebelum masuk Islam pernah membunuh anak gadisnya dengan menguburnya hidup-hidup.

Ketika Islam datang, bagaimana sikap Rasul? Islam menyatakan bahwa pria dan wanita adalah sama-sama manusia hamba Allah. Kedudukannya sama di hadapan Allah. Yang membedakan adalah ketaqwaannya. Oleh karena itu, pria dan wanita sama-sama berhak hidup. Pria tidak lebih mulia daripada wanita, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, ketika Islam datang, adat (kebiasaan) membunuh bayi wanita pun segera ditinggalkan.

Ada juga kebiasaan masyarakat Arab waktu itu, yaitu minum khamr. Para sahabat Nabi pun termasuk orang-orang yang suka minum khamr. Ketika turun ayat yang melarang minum khamr, maka serta-merta kaum muslimin meninggalkan khamr. Mereka segera membuang seluruh khamr yang mereka miliki, sampai-sampai Kota Madinah basah oleh khamr.

Masih banyak adat/kebiasaan masyarakat Arab waktu itu yang bertentangan dengan Islam. Rasulullah mendakwahi mereka sehingga akhirnya adat itu mereka tinggalkan dan diganti dengan ajaran baru yaitu Islam. Sementara itu, adat yang tidak bertentangan dengan Islam tetap dibiarkan ada di tengah-tengah masyarakat.

Jadi, sikap menyesuaikan adat dengan Islam adalah tepat. Sementara sikap menyesuaikan Islam dengan adat adalah salah.

Busana Pengantin Wanita

Sebagai orang Islam, kita terikat dengan hukum-hukum Islam, kapan pun dan dimana pun. Termasuk saat pesta pernikahan. Tidak ada pengecualian.

Islam mengajarkan bahwa busana wanita muslimah di tempat umum harus memenuhi tujuh kriteria berikut :

1. Menutup aurat;

2. Jenis dan model sesuai ketentuan syariat (memakai jilbab, khumur, mihnah, dan memenuhi kriteria irkha’)

3. Tidak tembus pandang (transparan)

4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya

5. Tidak tabarruj

6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki

7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir
(penjelasan lengkap tentang busana wanita muslimah silakan dibaca di sini dan di sini)

Oleh karena itu, pada saat anda menikah pun wajib tetap terikat dengan syariat ini.

Pakaian perempuan berdasar adat Jawa dalam wujudnya yang asli tidak sesuai dengan syariat Islam. Sanggul termasuk salah satu yang tidak sesuai. Wanita muslimah wajib memakai kerudung (khimar) yang menutup seluruh rambutnya. Haram pula melakukan penyambungan rambut.

Mungkinkah memakai pakaian yang tetap beradat Jawa namun tetap Islami seperti harapan anda dan calon mertua anda? Hal ini tentu sangat relatif tergantung bagaimana cara anda memodifikasinya. Kami sarankan anda untuk mencermati dan memahami betul aturan busana wanita muslimah sehingga modifikasi yang anda lakukan tidak melanggar syariah.

Melanggar Perintah Orang Tua, Bolehkah?

Anak wajib menaati perintah orang tua. Akan tetapi, kewajiban taat kepada orang tua adalah selama tidak bertentangan dengan perintah Allah. Pada hakikatnya, anak menaati perintah orang tua adalah karena perintah Allah. Bukan sebaliknya, menaati Allah karena perintah orang tua.

Allah swt berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami.”[Q.S. Al Kahfi ayat 28]

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. [Q.S. Al Qalam ayat 8]

Rasulullah bersabda :

“Tidak ada ketaatan dalam hal maksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah pada perkara yang ma’ruf (sesuai dengan syariat).” (HR. Muslim)

Hadits At Tabrani dari Ubadah, yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Akan ada setelah masaku, orang-orang (yang akan memimpin) urusan kalian, dimana mereka mengakui perbuatan munkar kalian dan menolak kema’rufan kalian. Maka, tidak ada ketaatan sedikit pun kepada siapa saja yang berbuat maksiat.”

Dengan demikian, anda boleh melanggar perintah orang tua jika perintahnya bertentangan dengan perintah Allah. Anda tidak berdosa. Kewajiban anda adalah memberitahu (mendakwahi) orang tua tentang syariat Islam yang belum mereka pahami. Tentu harus dilakukan dengan cara-cara yang ma’ruf sehingga sebisa mungkin tidak melukai hati/perasaan orang tua.

Dakwah Keluarga, Mengapa Ditunda-tunda?

Sebenarnya timbul pertanyaan dalam benak kami. Mengapa anda tidak jauh-jauh hari mendakwahi keluarga anda? Mengapa anda justru “ribut” dengan orang tua ketika hari pelaksanaan pesta pernikahan sudah sangat dekat? Ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Mendakwahi keluarga sebaiknya sesegera mungkin. Tidak perlu menunggu “bom waktu” yang pada akhirnya akan menyulitkan kita di kemudian hari.

Biasanya orang tua khawatir jika pesta pernikahan anaknya berbeda dengan adat, maka akan mendapatkan cibiran dan gunjingan dari masyarakat sekitar. Walaupun orang tua sudah tahu aturan Islam, kekhawatiran terhadap respon masyarakat sekitar masih sering terjadi.

Di sini sebenarnya hanya faktor kebiasaan. Hal yang baru biasanya membutuhkan “tumbal”/”korban”. Maksudnya, harus ada seseorang yang memulai. Ketika hal yang baru itu sudah ada yang berani memulai, maka akan ada “pengikut-pengikut” berikutnya. Contohnya, Inul adalah pelopor dalam goyang “ngebor”. Ia dihujat habis-habisan. Ternyata Inul maju terus. Tidak mengherankan jika kemudian muncul penerus-penerus Inul dengan berbagai macam goyang. Sayangnya, Inul bukan pelopor kebaikan tetapi justru pelopor kemaksiatan.

Pernah suatu ketika, seorang teman kami akan menikah. Sebagai aktivis dakwah kampus tentu ia sadar bahwa pesta pernikahan yang selama ini biasa dilakukan di masyarakat sekitarnya adalah tidak Islami, salah satu unsurnya adalah adanya ikhtilat. Ia jelaskan kepada orang tuanya (khususnya ayahnya sebagai kepala keluarga) tentang haramnya ikhtilat. Pada awalnya memang ditentang. Tetapi dengan sabar teman kami menjelaskannya. Segala cara dicoba untuk menjelaskan hal ini. Akhirnya hati ayahnya pun terbuka. Ayahnya bersedia menyelenggarakan pesta pernikahan yang Islami. Masalah belum selesai. Pada saat pertemuan dengan warga kampung, ada yang protes dengan mengatakan “ini kan tidak umum”. Alhamdulillah, ayahnya tetap teguh pendirian. Akhirnya, ketika pesta pernikahan digelar pun tidak terjadi masalah. Bahkan setelah hari itu, banyak yang menyelenggarakan pesta pernikahan dengan memisahkan tamu pria dengan tamu wanita.

Apakah anda berani memulai?

“Orang biasa menempuh jalan biasa.”

“Orang luar biasa menempuh jalan yang tidak biasa.”


(Farid Ma’ruf, www.syariahpublications.com)