Jika kita pernah menyimak tayangan acara Pemilihan Puteri Ideal, Puteri Indonesia atau apapun namanya, kita akan tahu kriteria apa saja yang biasa dijadikan patokan untuk menilai seseorang hingga dikatakan layak menjadi juara. Kriteria-kriteria itu biasanya mencakup: penampilan fisik (wajah, bentuk tubuh), performa (intelegensia, cara bicara, cara bersikap, lifestyle keseharian) dan bakat. Seorang yang dianggap berpenampilan fisik paling menarik, paling pintar, paling santun dan paling berbakat dipastikan akan dinobatkan menjadi seorang Puteri.

Dalam kehidupan nyata, kriteria wanita ideal pun tak jauh dari hal yang demikian. Wanita Ideal digambarkan sebagai wanita yang berpenampilan menarik, keibuan, berpendidikan tinggi, berkelas, karir bagus, keluarga harmonis, dan sebagainya. Kriteria-kriteria inilah yang kemudian senantiasa menjadi dambaan, baik di kalangan wanita sendiri maupun di kalangan pria yang menginginkan pasangan seorang wanita ideal. Dalam hal ini, faktor ketaqwaan/keshalihan dan hal-hal yang ‘dianggap’ bersifat immateri biasanya luput dari perhatian. Bahkan terkadang tidak diperhitungkan sama sekali.

Sesungguhnya, kondisi seperti ini merupakan hal yang ‘wajar’, jika mengingat bahwa masyarakat kita saat ini tengah dikungkung oleh sistem kehidupan sekuleristik. Sebuah sistem yang menjadikan materialisme sebagai asas berpikir dan berbuatnya. Dengan asas ini semua hal diukur dan distandarisasi berdasarkan materi dan hal-hal yang bersifat fisik, termasuk untuk mengukur baik dan buruk, benar dan salah, ideal-tidak ideal dan lain-lain. Ironisnya, cara berpikir seperti ini juga telah menjadi mainstream berpikir kaum muslimin. Padahal aqidah yang mereka imani sesungguhnya menuntut mereka untuk menjadikan hukum syara’ sebagai satu-satunya tolok ukur ketika berpikir dan berbuat.

Wanita Ideal = Mar’atush Sholihah


Berkenaan dengan kriteria wanita ideal, Islam memiliki cara pandang tersendiri. Dalam hal ini Rasulullah Saw pernah bersabda :

“Dunia itu perhiasan; sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah”
(HR. Muslim dari Abdullah Ibn Amr ra)

“Siapa saja yang telah dikaruniai Allah wanita shaliha,h berarti Dia telah menolongnya dalam satu bagian agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam bagian yang kedua”
(HR. al-Hakim dari Anas ra)


Berdasarkan dua hadits di atas, jelas bahwa kriteria wanita ideal yang layak didambakan dalam pandangan Islam adalah wanita shalehah (mar’atush sholihah). Hanya saja, seperti apa gambaran wanita shalehah, tentu haruslah dikembalikan kepada tuntunan syariat.

Pertama, Wanita shalihah adalah wanita yang memiliki keimanan yang tinggi. Yakni keimanan yang lahir dari syahadah yang lurus yang hakekatnya merupakan ikrar/persaksian untuk memurnikan pengabdian kepada Allah semata dan ketaatan pada Rasulullah Saw. Keimanan seperti ini akan mampu menggerakkan, mempengaruhi dan mendorong dirinya untuk selalu menjadikan keridhaan Allah dan RasulNya serta kemuliaan Islam sebagai tujuan tertinggi. Sehingga dia selalu siap berkorban dalam ketaatan dan menanggung derita di jalan Allah SWT.

Kedua, Wanita Shalihah adalah wanita yang senantiasa bersegera dalam menjalankan ketundukan pada syari’at Allah dan RasulNya (al-Mubâdiroh ilaal-itizâmi bi syar’i) dan ridho dengan segala ketetapanNya. Hal ini terkait dengan aspek yang pertama, yakni adanya pemahaman bahwa keimanan yang tinggi menuntut ketundukan tanpa reserve dan total. Dan ketundukan yang total plus tanpa reserve inilah yang akan menjadi washilah diperolehnya keridhaan Allah dan RasulNya. Firman Allah Ta’ala :

“..... Dan adapun orang-orang yang beriman
amat sangat cintanya kepada Allah ...” (TQS. Al-Baqarah [2]:165)

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’”
(QS. Ali Imran[3]:31)

“Sesungguhnya perkataan orang-orang yang beriman, ketika dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar Rasul menerapkan hukum (dengan syariat Islam) di antara mereka, mereka mengatakan : ‘Kami mendengar dan kami taat’. Dan merekalah orang-orang yang beruntung”.
(QS. An-Nuur[24]:51)

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim (penetap hukum) dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisa[4]:65)

“Dan tidak patut bagi mu’min dan tidak patut pula bagi mu’minat, jika Allah dan RasulNya telah menetapkan satu keputuskan (hukum) akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata”. (TQS. Al-Ahzab[33]:36)

Pada tataran praktisnya, keterikatan terhadap hukum syara yang menjadi kriteria wanita shalihah ini mencakup dimensi yang sangat luas, yakni mencakup seluruh perikehidupan diri dan umatnya. Jadi bukan sekedar shalih dalam konteks pribadi saja, seperti taat beribadah (mahdhah), berakhlak terpuji dan berpenampilan sesuai syari’at (seperti menutup aurat dengan kerudung/khimar dan jilbab serta menundukkan pandangan dari yang diharamkan), menuntut ilmu dan sebagainya, melainkan dia juga terikat dengan hukum-hukum yang menyangkut peran-peran lainnya selain peran sebagai pribadi, seperti peran sebagai isteri dan ibu, dan peran sebagai anggota masyarakat. Berkaitan dengan peran-peran ini, terdapat beberapa nash yang menggambarkan kriteria wanita shalihah berikutnya.

Wanita Shalihah Sebagai Isteri/Ibu


Dalam perannya sebagai isteri/ibu, wanita shalihah adalah wanita yang senantiasa taat pada suaminya selama tidak memerintahkan maksiyat, senantiasa berusaha menyenangkan suami untuk mencari keridhaannya, membantunya dalam urusan akhirat, memelihara rumah, anak-anak dan harta suaminya, dan lain-lain. Hal ini tentu harus didudukkan dalam kerangka bahwa hakekat keberadaan pernikahan adalah hubungan persahabatan (shohbah) dalam menjalani ketaatan. Tentang hal ini Allah SWT berfirman :

“.......Oleh karena itu, wanita shalihah adalah yang mentaati Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara mereka”. (TQS. An-Nisa’[4]:3)

Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda :
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, aku pasti akan memerintahkan kepada wanita untuk bersujud kepada suaminya”

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, bahwa Rasulullah bersabda :
“Demi Dzat Yang jiwaku berada di tanganNya, seorang wanita dipandang belum menunaikan hak Tuhannya sebelum ia menunaikan hak suaminya”.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa ketika Rasulullah Saw ditanya “Perempuan manakah yang paling baik?” Beliau menjawab : “Khazanah yang paling baik bagi seorang laki-laki (suami) adalah perempuan yang shalih; jika suami memandangnya ia menyenangkan suaminya; jika suami memerintahnya ia mentaatinya; jika suaminya tidak ada di sisinya, ia memelihara dirinya”

Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasul Saw bersabda:
“Seorang laki-laki adalah pemimpin keluarganya; ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang perempuan adalah pemimpin (pengurus) rumah suaminya dan anak-anaknya; Ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya”.

"Hendaklah salah seorang di antara kalian mempunyai kalbu yang bersyukur (qalban syaakiran), lisan yang senantiasa berdzikir (lisaanan dzaakiran) dan isteri yang beriman yang dapat membantumu dalam urusan akhirat" (HR. Ibnu Majah)

Perlu dipahami, bahwa peran sebagai isteri dan ibu (ummun wa rabbatul bayt) merupakan peran utama yang dibebankan oleh Allah SWT kepada para wanita. Oleh karenanya, wanita shalihah akan berupaya semaksimal mungkin agar beban ini dapat dilaksanakan sebaik-baiknya sekalipun sangat berat dan butuh pengorbanan yang sangat tinggi. Keberadaan beban yang berat ini, juga tidak akan dijadikan alasan untuk menghindar dari pelaksanaan ketetapan syari’at Allah yang lainnya, apalagi jika hal tersebut berkenaan dengan perkara yang wajib. Hal ini karena dia akan selalu yakin, bahwa semua ketetapan yang Allah berikan adalah kebaikan baginya, dan seluruh hukum yang Allah syari’atkan pasti dalam batas kemampuannya.


Wanita Sholihah Sebagai Bagian Dari Masyarakat


Sesungguhnya Islam telah memberikan ruang yang leluasa untuk berkiprah di dalam aktivitas yang terkait dengan perannya sebagai bagian dari anggota masyarakat, seperti kebolehan untuk terlibat dalam beberapa mu’amalah, melakukan aktivitas dakwah/amar ma’ruf nahi munkar serta memperhatikan urusan umat (beraktivitas politik) yang hukumnya memang wajib, dan lain-lain. Kewajiban ini tersirat dalam firman Allah SWT :

“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (laki-laki/perempuan) yang menyeru kepada al-khoir (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (TQS. Ali-Imran[3]:104)

Dan sabda Rasulullah Saw :
“Barangsiapa bangun pada pagi hari, sedangkan tidak terbersit dalam benaknya urusan kaum muslimin, maka mereka bukan golongan kaum muslimin” HR. al-Hakim dari al-Khatib ra.)

“Siapa saja yang tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin, berarti dia bukanlah termasuk golongan mereka. Siapa saja yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi nasihat bagi Allah dan RasulNya, bagi kitabNya, bagi pemimpinnya dan bagi umumnya kaum muslimin, berarti ia bukan termasuk di antara mereka”.(HR. ath-Thabrani dari Hudzayfah ra.)

Jika dikaitkan dengan kondisi umat saat ini yang jauh dari gambaran ideal masyarakat Islam, maka peran wanita shalihah menjadi lebih penting lagi terutama dalam proses mengubah masyarakat sekarang menjadi masyarakat Islam. Dalam hal ini, urgensi yang menuntut keterlibatan wanita antara lain :

a. Bahwa kaum wanita memegang peran penting dan strategis dalam mencetak generasi penerus umat yang memiliki kualitas mumpuni. Yakni berperan dalam mendidik dan membina anak-anak mereka dengan aqidah yang kuat yang akan melahirkan generasi yang tunduk pada syari’at dan siap untuk memperjuangkannya.

b. Bahwa perubahan masyarakat ke arah Islam harus diusung dan diperjuangkan oleh seluruh komponen umat, baik pria maupun wanita. Disisi lain tidak setiap wanita muslimah memiliki kesadaran yang sama akan pentingnya mewujudkan perubahan dengan landasan Islam, sehingga menjadi tugas para wanita sholihah untuk bergerak menyadarkan muslimah lainnya dari keterlenaan mereka dengan cara melakukan proses pembinaan yang mengarah pada pengokohan aqidah dan membangun ketaatan pada syari’at.

Apa Yang Harus Dipersiapkan?


Dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menjadi wanita shalihah memang tidak mudah. Dalam hal ini diperlukan keyakinan dan pengorbanan yang tinggi sehingga seluruh kewajiban yang terbeban dipundak akan dapat dilaksanakan. Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan :

1. Muslimah harus senantiasa memelihara keimanan dengan aktivitas taqorrub ilaLLah. Sehingga dengan cara ini akan senantiasa ada dorongan yang kuat untuk melakukan ketaatan kepada aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya.

2. Muslimah harus memiliki pemahaman yang utuh tentang hukum-hukum syari;at, termasuk yang berkaitan dengan seluruh aktivitasnya, baik yang menyangkut peran sebagai individu/pribadi, isteri/ibu maupun sebagai anggota masyarakat, sehingga, dia bisa memastikan bahwa tidak ada satu hukumpun yang luput dari pelaksanaannya. Oleh karenanya, penting bagi wanita shalihah untuk terus membina dirinya dan terlibat dalam sistem pembinaan yang terarah dan berkesinambungan.

3. Muslimah harus memahami konsep al-awlawiyaat (fiqih prioritas) yang bersandar pada hukum syara’ beserta manajemen waktu yang bagus.

4. Muslimah harus terus berupaya membangun dukungan dari orang-orang terdekat, sehingga bisa saling menguatkan dalam menjalani ketundukan kepada Allah dan Rasul, termasuk dalam aktivitas dakwah.

5. Muslimah harus memahami setiap realitas yang berkembang dengan pemahaman yang jernih dan utuh, baik berupa pemikiran, hukum-hukum, maupun realitas politik lain beserta analisis Islamnya sehingga mampu mengambil sikap dengan sikap yang benar (cerdas politik). Hal ini penting, terutama jika dikaitkan dengan posisi strategis muslimah sebagai ibu yang berperan penting dalam mencetak dan mendidik generasi Islam masa depan.

Tauladan Shahabiyat ra.

Jika kita ingin mencari contoh sosok ideal wanita shalihah, maka kita akan menemukannya pada diri para shahabiyat ra. Kehidupan mereka cukup memberi gambaran yang jelas bagaimana seorang muslimah harus berpikir dan bersikap, membuktikan iman dan kecintaannya pada Allah dan Rasul dengan jalan ketundukan pada seluruh syari’atNya.


Salah satu contoh yang bisa diambil adalah kehidupan Asma binti Abi Bakar. ra, seorang wanita yang terdahulu masuk Islam, seorang pribadi shalihah, cerdas dan berkepribadian kuat; seorang isteri yang taat dan begitu berbakti pada suami; seorang ibu dari yang berhasil menghantarkan anaknya syahid, dan seorang politikus ulung serta pemberani karena beliau terlibat langsung dalam banyak peristiwa politik seperti hijrahnya Rasul dan beberapa peperangan penting. Sosok Asma ra hanya salah satu saja dari sekian banyak tauladan terbaik yang terserak di kitab-kitab sirah, yang penting bagi kita --generasi sekarang-- untuk mentadabburinya hingga kita juga layak menyandang kemuliaan sebagaimana mereka.[][]
[Siti Nafidah Anshory]